1 . Ketimpangan Penghasilan Sesama Pegawai Negeri/Pejabat Negara
Walaupun
Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang sama, yaitu berdasarkan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No 43 Tahun 1999, tetapi
mengenai gaji dan penghasilan bisa berbeda-beda, hal tersebut tergantung
kebijakan dan keberanian pimpinan instansi untuk memperjuangkannya baik
secara resmi maupun tidak tetapi kedua-duanya merupakan perbuatan yang
illegal.
Ketimpangan
penghasilan PNS tersebut telah menimbulkan rasa cemburu yang luar
biasa, yang salah satunya berdampak kepada perbuatan korupsi yang
dilakukan secara berjamaah pada departemen/lembaga lainnya, dengan
alasan penghasilan yang besar saja di Departemen Keuangan belum bisa
mencegah pegawainya untuk melakukan korupsi, apabila pada
departemen/lembaga yang penghasilan sangat rendah.
Seharusnya
gaji dan penghasilan PNS yang berada diinstansi manapun (untuk pegawai
yang tingkatannya sama) adalah sama, karena keberadaan suatu
departemen/lembaga/ institusi prinsipnya adalah sama penting, oleh
karena itulah keberadaan dan pembentukannya dilakukan, kalau tidak
penting keberadaannya perlu dilakukan likwidasi. Kerberadaan polisi
penting, begitupula tentara dan penjaga mercu suar yang hidup penuh
resiko kematian. Auditor, jaksa, hakim juga penuh resiko untuk disuap.
Jadi tidak ada perbedaan kepentingan keberadaan pegawai, bukan Cuma
pegawai Departemen Keuangan saja yang penting dan penuh resiko untuk
melakukan korupsi, sehingga memperoleh penghasilan yang berbeda dengan
pegawai departemen/lembaga lainnya.
2.Sifat Tamak dan Keserakahan
Apabila
dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi
dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan
sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab
seseorang mendorong untuk melakukan korupsi antara lain sebagai berikut :
Kemungkinan
orang yang melakukan korupsi adalah orang yang penghasilannya sudah
cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan
hidupnya. Kemungkinan orang tersebut melakukan korupsi tersebut juga
tanpa adanya godaan dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan
korupsi mungkin juga sudah sangat kecil karena sistem pengendalian
manajemen yang ada sudah sangat bagus. Dalam hal pelaku korupsinya
seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia melakukan korupsi adalah
unsur dari dalam diri sendiri, yaitu sifat-sifat tamak, serakah,
sombong,takabbur, rakus yang memang ada pada manusia tersebut
Apabila
seseorang tidak mampu mengendalikan dirinya, maka tanpa godaan dari
luar, tanpa didorong kebutuhan hidup, dan tanpa adanya kelemahan sistem
yang memberinya kesempatan, seseorang tersebut akan berusaha
mencari-cari jalan untuk melakukan korupsi. Dalam hal seperti ini,
berapapun kekayaan dan penghasilan sudah diperoleh oleh seseorang
tersebut, apabila ada kesempatan untuk melakukan korupsi maka akan tetap
dilakukan juga. Biasanya orang-orang/pejabat-pejabat seperti inilah
yang melakukan perencanaan korupsi sejak masih menjabat sampai menjelang
dan memasuki masa pensiun.
3.Gaya Hidup Konsumtif
Gaya
hidup yang konsumtif dikota-kota besar mendorong pegawai untuk dapat
memiliki mobil mewah , rumah mewah, menyekolahkan anak di luar negeri,
pakaian yang mahal, hiburan yang mahal, dan sebagainya. Sebagai
misalnya, gaya hidup yang populer berupa hoby main golf akan mendorong
seorang pegawai untuk mau menyediakan sarana untuk melaksanakan hoby
tersebut. Apabila pegawai tersebut memang bukan pegawai yang
tingkatannya cocok dengan hobby tersebut, sedangkan dirinya ingin
bergaya hidup seperti itu sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
sarananya dengan cara-cara yang legal, maka mendorong dirinya untuk
melakukan berbagai hal, termasuk korupsi agar hobbynya dapat terlaksana.
Hal ini menjadikan pegawai yang walaupun sudah mendapatkan gaji yang
layak akan berusaha menambah penghasilannya untuk memenuhi tuntutan gaya
hidup tersebut.
Gaya
hidup yang konsumtif tersebut akan menjadikan penghasilan yang rendah
semakin tidak mencukupi. Hal tersebut juga akan mendorong seseorang
untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.
4. Penghasilan Yang Tidak Memadai
Penghasilan
pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai
tersebut beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata
penghasilannya sebagai pegawai negeri tidak dapat menutup kebutuhan hidupnya
secara wajar, misalnya hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh
hari dalam sebulan, maka mau atau tidak mau pegawai negeri tersebut
harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam hal seperti itu adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan
penghasilan, karena apabila hal itu tidak dilakukan maka dirinya dan
keluarganya akan mati kelaparan. Usaha untuk mencari tambahan
penghasilan tersebut tentu sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya
menyewakan sarana dinas, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dinas
fiktif, mengadakan kegiatan yang tidak perlu dengan biaya yang
tidak wajar. Hal seperti itu akan lebih parah apabila mendapatkan
kesempatan untuk melakukan korupsi terhadap sumber daya yang besar yang
dimiliki organisasinya.
5. Kurang Adanya Keteladanan Dari Pimpinan
Dalam
organisasi, pimpinannya baik yang formal maupun yang tidak formal
(misalnya, sesepuhnya) akan menjadi panutan dari setiap anggota atau
orang yang berafiliasi pada organisasi tersebut. Dengan karakteristik
organisasi seperti itu, apapun yang dilakukan oleh pimpinan organisasi
akan ditiru oleh para anggota organisasi walaupun dalam intensitas yang
berbeda-beda. Apabila pimpinannya mencontohkan gaya hidup yang bersih
dengan tingkat kehidupan ekonomi yang wajar, maka anggota-anggota
organisasi tersebut akan cenderung untuk bergaya hidup yang sama. Akan
tetapi, teladan yang baik dari pimpinan tidak menjamin bahwa korupsi
tidak akan muncul di dalam organisasinya karena penyebab lain masih
banyak
Demikian
pula sebaliknya, apabila pimpinan organisasi gaya hidupnya berlebihan,
maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk mengikuti
gaya hidup berlebihan. Dan, apabila tidak mampu menopang biaya hidup
yang berlebihan tersebut, maka akan berusaha untuk melakukan berbagai
hal termasuk melakukan korupsi.
6. Tidak Adanya Kultur Organisasi yang Benar
Kultur
atau budaya organisasi biasanya akan mempunyai pengaruh yang sangat
kuat kepada anggota-anggota organisasi tersebut terutama pada
kebiasaannya, cara pandangnya, dan sikapnya dalam menghadapi sesuatu
keadaan. Apabila kultur ini tidak ditangani dengan baik, maka sejumlah
anggota organisasi mungkin akan melakukan berbagai bentuk perbuatan yang
tidak baik, yang lama-lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan tersebut
akan menular ke anggota yang lain dan kemudian perbuatan tersebut akan
dianggap sebagai kultur atau budaya di lingkungan yang bersangkutan.
Misalnya, di suatu bagian dari suatu organisasi akan dapat muncul budaya
uang pelicin, “amplop”, hadiah, jual beli temuan dan lain-lain yang
mengarah ke akibat yang tidak baik bagi organisasi.
Kultur
ini secara perlahan-lahan dibentuk menjadi kultur yang diarahkan untuk
menunjang misi negatif tersebut. Dengan membentuk kubu diciptakan
situasi dimana orang yang tidak sesuai dengan kultur tersebut akan
disingkirkan” atau dikucilkan dengan berbagai cara negatid pula. Salah
satu sarana yang biasa dipakai untuk membentuk dan menjaga kultur
tersebut adalah dengan membangun kultur organisasi yang resmi dan kode
etik atau aturan perilaku yang secara resmi diberlakukan pada
organisasi.
7. Sistem Akuntabilitas Di Instansi Pemerintah Kurang Memadai
Pada
organisasi di mana setiap unit organisasinya mempunyai sasaran yang
sudah ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumber
dayanya selalu dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut,
maka setiap unsur, kuantitas dan kualitas sumber daya yang tersedia akan
selalu dimonitor dengan baik. Hal ini cenderung akan terjadi secara
otomatis, karena setiap berkurangnya sumber daya akan mengakibatkan
berkurangnya tingkat pencapaian sasaran yang pada ahirnya akan
menurunkan tingkat prestasi kerja manajemen unit kerja yang
bersangkutan.
Pada
instansi pemerintah, pada umumnya instansi belum merumuskan dengan visi
(vision) dan misi (mision) yang diembannya dan juga belum merumuskan
secara tepat tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam priode tertentu
guna mencapai misi tersebut. Demikian pula dalam memonitor prestasi
kerja unit-unit organisasinya, pada umumnya hanya melihat tingkat
penggunaan sumber daya (infastruktur), tanpa melihat tingkat pencapaian
sasaran yang seharusnya dirumuskan sangat tepat dan seharusnya dicapai
(faktor out-put). Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapaisasarannya
atau tidak.
Untuk
memperbaiki keadaan ini, maka perlu disosialisasikan dengan
diimplementasikan konsep perencanaan stratejik yang dimulai dengan
perumusan visi dan misi masing-masing Departemen/LPND/BUMN/BUMD.
Selanjutnya berdasarkan itu dengan berpegang pada amanat konstitusi
ditetapkan tujuan dan sasaran yang harus dicapai serta ukuran-ukuran
kinerja yang dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilannya nanti.
Ukuran kinerja tersebut tidak hanya mengukur faktor in-put saja
(anggaran yang berhasil diserap dan jumlah pegawai yang dimiliki),
tetapi juga mengukur output dan outcome-nya. Dengan cara ini, pada suatu
saat nanti setiap pimpinan, instansi pemerintah/BUMN/ BUMD akan dapat
menunjukkan akuntabilitasnya atas penggunaan sumber daya kewenangan yang
dipercayakan dan dialokasikan kepadanya.
8. Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pada
organisasi di mana pengendalian manajemennya lemah akan lebih banyak
pegawai yang melakukan korupsi dibanding pada organisasi yang
pengendalian manajemennya kuat. Seorang pegawai yang mengetahui bahwa
sistem pengendalian manajemen pada organisasi di mana dia bekerja lemah,
maka akan timbul kesempatan atau peluang baginya untuk melakukan
korupsi. Di lingkungan APBN sistem pengendalian manajemen ini di kenal
sebagai Waskat (pengawasan melekat) atau built-in control. Waskat dalam
hal ini bukan pengawasan oleh atasan terhadap bawahannya. Pengawasan
oleh atasan terhadap bawahannya dikategorikan sebagai suatu bentuk
supervisi yang menjadi salah satu unsur sistem pengendalian manajemen.
Pengendalian
manajemen terdiri dari : organisasi, kebijakan, perencanaan, prosedur,
pencatatan, pelaporan, pembinaan personil, supervisi/review intern yang
berkaitannya dengan penyebab korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Struktur organisasi dapat menunjukkan garis wewenang dan tanggung jawab yang jelas. Wewenang yang
diberikan terlalu berlebihan akan mendorong seorang pegawai/pejabat
tersebut cenderung lebih mudah menyalahgunakannya untuk kepentingan
pribadinya.
2. Kebijakan
sedapat mungkin dibuat jelas dan tertulis, dikomunikasikan kepada
setiap personil, transparan, tidak bertentangan dengan tujuan
organisasi. Kebijakan yang tidak transparan akan mudah dimamfaatkan
secara salah oleh pihak-pihak tertentu.
3. Perencanaan
harus realistis, melibatkan atasan dan bawahan, merupakan penjabaran
tujuan organisasi. Pelaksanaan kegiatan tanpa perencanaan yang matang
menyebabkan mudah dimamfaatkan pelaksana untuk menyeleweng.
4.
Prosedur harus sederhana, menghindarkan pekerjaan yang tumpang tindih,
dikomunikasikan dengan baik oleh semua pihak yang terkait, sesuai dengan
kebijakan, review ulang secara berkala. Prosedur yang berbelit-belit
dalam pelaksanaan kegiatan cenderung dimampaatkan untuk tujuan pungli.
5.
Pencatatan harus lengkap dan informatif, diselenggarakan secara akurat
dan tepat waktu, sederhana dan konsisten, dipisahkan dari fungsi
penguasaan dan penyimpanan. Korupsi akan mudah dilakukan pada organisasi
yang pencatatannya tidak beres.
6.
Pelaporan harus mengungkap fakta, obyektif, jelas,lengkap, tepat waktu.
Mekanisme pelaporan yang tidak jalan dengan baik sulit dapat mendeteksi
adanya kecurangan sesegera mungkin. Aksesabilitas laporan oleh pihak
lain di luar organisasi akan menentukan tingkat transparansi organisasi.
Hal ini bila diatur dengan baik akan mendongkrak kualitas pengawasan
oleh pihak luar organisasi.
7.
Penerimaan dan pemberhentian personil sesuai dengan ketentuan, terdapat
pengembangan karir yang jelas, terdapat sistem penghargaan yang dapat
memotivasi pegawai. Dengan pembinaan personil yang baik di dalam
organisasi akan menumbuhkan rasa memiliki (self of belonging) dalam diri
setiap personil organisasi tersebut. Banyak pegawai yang frustasi
karena harapannya dalam organisasi tersebut tidak mungkin dapat
terpenuhi akan mudah melakukan korupsi.
8.
Supervisi dan review intern menggunaan metode dan instrumen yang tepat,
dilaksanakan secara berkala, bersipat pembinaan pegawai dan
memperlancar pelaksanaan kegiatan. Korupsi mudah terjadi jika tidak ada
pengawasan intern yang baik dan dilaksanakan terus menerus. Seorang
pegawai akan mudah melakukan kecurangan jika mengetahui bahwa
pekerjaannya tidak pernah atau kurang diawasi.
9 .Manajemen Cenderung Menutup Korupsi Di Dalam Organisasinya
Pada
umumnya jajaran manajemen organisasi dimana terjadi korupsi enggan
membantu mengungkapkan korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut sama
sekali tidak melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul
karena terungkapnya praktek praktek korupsi di dalam organisasinya akan
dianggap sebagai bukti buruknya kualitas manajemen organisasi.
Akibatnya, jajaran manajemen cenderung untuk menutup-nutupi korupsi yang
ada, dan berusaha menyelesaikanny dengan cara-caranya sendiri yang
kemudian dapat menimbulkan praktek korupsi yang lain.
Keengganannya
ini juga mengakibatkan upaya mendeteksi praktek korupsi melalui
kegiatan audit oleh jajaran pemeriksa maupun kegiatan penyelidikan dan
penyidikan lanjutannya menjadi lebih sulit. Selain berupaya
menutup-nutupi praktek korupsi yang ada, jajaran manajemen juga
cenderung kurang kooperatif terhadap upaya audit, penyelidikan maupun
penyidikan yang diketahuinya akan dapat mengarah pada pengungkapan
praktek korupsi di organisasinya.
10. Nilai-Nilai Negatip Yang Hidup Dalam Masyarakat
Nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi.
Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat
yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata dalam menghargai seseorang
lebih didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang bersangkutan.
Ini dapat dilihat
bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan memberikan perlakuan yang
berbeda terhadap seseorang apabila melihat penampilan lahiriah atau
kendaraannya yang mewah atau rumahnya mewah.
Juga, apabila
masyarakat mengetahui adanya orang yang melakukan perbuatan yang salah
yang mengarah ke perbuatan korupsi masyarakat tidak bertindak apa-apa
asalkan orang tersebut sering berderma. Misalnya, adanya pungutan
tambahan dalam urusan-urusan perijinan, masyarakat memandang “cuek”
kejadian-kejadian tersebut karena menganggap hal seperti itu adalah hal
yang sudah biasa, yang penting urusan saya selesai. Masyarakat yang “permissive” (cenderung membolehkan secara diam-diam) terhadap terjadinya penyimpangan kondisi sangat kondusif untuk terjadinya korupsi.
11. Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat sendiri
Masyarakat
pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka
pihak yang akan paling dirugikan adalah negara atau pemerintah.
Masyarakat kurang menyadari bahwa apabila negara atau pemerintah yang
dirugikan, maka secara pasti hal itu juga merugikan masyarakat sendiri.
Misalnya, apabila terjadi korupsi dalam bentuk manipulasi kualitas
pekerjaan borongan untuk perbaikan jalan. Dari kejadian tersebut
masyarakat akan memandang bahwa yang dirugikan adalah uang pemerintah
pusat/daerah, tanpa menarik kesimpulan lebih lanjut bahwa yang dirugikan
adalah masyarakat sendiri karena masyarakat tidak dapat menikmati
mulusnya jalan yang selesai diperbaiki sebagaimana mestinya. Jalan yang
diperbaiki akan segera rusak kembali, sehingga masyarakat sebagai
pengguna jalan akan rugi, baik secara langsung berupa kendaraannya yang
menjadi lebih cepat rusak maupun tidak langsung berupa kurang lancarnya
kegiatan-kegiatan masyarakat. Apabila masyarakat betul-betul menyadari
bahwa masyarakat yang akan menanggung rugi, maka masyarakat harus ikut
mengawasi pelaksanaan pekerjaan borongan perbaikan jalan tersebut untuk
mencegah terjadinya manipulasi kualitas pekerjaan borongan.
12. Moral Yang Lemah
Seseorang
yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat
korupsi karena adanya godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk
melakukan korupsi berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahannya,
atau dari pihak luar yang dilayani.
Bila seorang pegawai
yang melihat atasannya melakukan korupsi, maka pegawai tersebut
cenderung akan melakukan korupsi juga. Karena dia berpendapat bahwa
apabila atasannya tersebut mengetahui perbuatannya kemungkinan atasannya
tersebut mendiamkannya atau pura-pura tidak tahu, tidak akan mengenakan
sanksi atau paling tidak hanya mengenakan sanksi yang ringan. Hal ini
terjadi karena atasannya juga mempunyai rasa takut dilaporkan oleh
bawahannya mengenai perbuatan korupsinya. Lebih – lebih jika seorang
pegawai melakukan korupsi karena melakukan kolusi dengan atasannya.
Atasanya cenderung akan melindungi bawahan yang melakukan korupsi
tersebut, karena apabila pegawai tersebut ditindak maka dia terbawa
juga.
Teman
setingkat atau bawahan seorang pegawai yang melakukan korupsi juga
dapat merupakan godaan bagi seorang pegawai. Seorang pegawai yang
tingkat ekonominya di bawah pegawai lain yang setingkat atau bawahannya
melakukan korupsi, jika moralnya tidak kuat akan mudah tergoda berbuat
korupsi juga. Timbul dalam pikiran pegawai tersebut, mengapa harus kalah
dengan mereka? Semua orang melakukan korupsi kenapa saya tidak?
13. Kebutuhan Hidup Yang Mendesak
Kebutuhan
yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membeyar
hutang, kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal karena istri atau
anak sakit, kebutuhan untuk membiayai sekolah anaknya, kebutuhan untuk
mengawinkan anaknya, kebutuhan dimasa pensiun merupakan bentuk-bentuk
dorongan seorang pegawai untuk berbuat korupsi. Dalam hal seperti itu
tentu akan sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem yang dapat
membantu memberikan jalan keluar bagi para pegawai untuk menghadapi kebutuhan – kebutuhan yang sipatnya mendesak, misalnya sistem asuransi.
Lebih-lebih
jika seorang pegawai terlilit hutang, mempunyai isteri lebih dari satu,
mempunyai kebiasaan judi main perempuan atau punya pria lain, atau hobi
minuman keras, maka akan sangat potensial untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut dengan cara apapun antara lain dengan korupsi. Dalam hal
seperti itu, tentu akan sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem
dapat meminimalkan jumlah pegawai yang mempunyai karakteristik tidak
seperti itu.
Kebutuhan–kebutuhan
yang mendesak tersebut akan menjadikan penghasilan yang sedikit semakin
terasa kurang. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk melakukan
korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.
14. Malas Atau Tidak Mau Bekerja Keras
Kemungkinan
lain, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin segera
mendapatkan sesuatu yang banyak atau hanya dalam waktu singkat tetapi
malas untuk bekerja keras dan meningkatkan kemampuan guna meningkatkan
penghasilannya. Kalau ada kesempatan untuk mudah mendapatkan penghasilan
yang besar tanpa usaha yang setimpal mengapa tidak dimamfaatkan. Akan
timbul dalam pikiran orang tersebut, berapa tahun saya harus membanting
tulang untuk memperoleh penghasilan sebesar itu? Apakah mungkin saya
dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak itu dengan gaji dari pekerjaan yang
sekarang.? Lebih baik saya korupsi dengan menjual temuan-temuan
pemeriksa, dua tiga kali memeriksa bisa punya mobil bagus dan mewah
serta punya rumah mewah. Asyik ! tanpa kerja keras dan sekolah lagi saya
jadi kaya.
15. Ajaran-Ajaran Agama Kurang Diterapkan Secara Benar
Secara umum, masyarakat di indonesia adalah masyarakat yang beragama
dimana ajaran-ajaran dari setiap agama yang diakui keberadaannya di
indonesia dapat dipastikan melarang perbuatan-perbuatan korupsi. Para
pelaku korupsi, secara umum adalah orang-orang yang juga beragama.
Mereka memahami ajaran-ajaran agama yang dianutnya,melarang korupsi. Ini
menunjukkan bahwa banyak ajaran-ajaran agama yang tidak diterapkan
secara benar oleh pemeluknya, hanya sekedar serimonial saja.
Ada
kemungkinan pemahaman atas ajaran – ajaran agama tersebut kurang sesuai
dengan kenyataan hidup yang dihadapi oleh para pelaku korupsi. Keadaan
tersebut muncul apabila ajaran-ajaran agama terlalu banyak berpokus pada
konsep-konsep yang terlalu tinggi dan melupakan ajaran mengenai
larangan dan kewajiban yang senyara nyata berkait dengan dunia kehidupan
yang nyata. Dalam situasi seperti itu, seseorang yang memahami
ajaran-ajaran agamanya. Mungkin saja dia memahami ajaran agamanya tidak
dijamin bersih dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agamanya. Mungkin
saja dia memahami ajaran agamanya, tetapi dalam memperaktekkan dalam
kehidupan nyata tidak mampu mengikuti ajaran agamanya sehingga masih
melakukan perbuatan-perbuatan korupsi.
16. Lemahnya Penegakan Hukum
Apabila
dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebetulnya sejak diterbitkannya UU
No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi peraturan
perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi sudah cukup memadai,
walaupun masih ada beberapa kelemahan diera UU No. 3 Tahun 1971 tersebut
seperti : rumusan delik yang hanya bersifat materil, ketentuan sanksi
pidana yang hanya menetapkan batas maksimum tidak ada batas minimum,
subyek hukum terbatas pada subyek hukum perorangan sedangkan korporasi
hukum subyek hukum, masih mempertahankan sistem pembuktian “negative
wettelihijhe beginnal” atau mengedepankan asas praduga tak bersalah,
kelemahan-kelemahan ini selalu dijadikan alasan kalangan penegak hukum
mulai dari auditor, kepolisian, kejaksaan, dan para hakim serta
pengacara dengan alasan sulitnya melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Kelemahan-kelemahan tersebut telah ditutup atau diperbaiki
dalam UU No. 31 Tahun 1999.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi mencakup beberapa aspek pertama,
bisa tidak adanya tindakan hukum sama sekali terhadap pelaku korupsi
dikarenakan pelaku adalah atasan dari penegak hukum atau bawahan dari
penegak hukum yang menjadi penyokong utama (main supplier) yang
membiayai operasional kegiatan si penegak hukum, atau si penegak hukum
telah menerima bagian dari hasil korupsi si pelaku atau si pelaku adalah
kolega dari pimpinan instansi penegak hukum. Kedua, tindakan ada tetapi penanganan di ulur-ulur dan sanksi di peringan. Ketiga,
tidak dilakukan pemindahan sama sekali, karena si pelaku mendapat
beking dari jajaran tertentu atau tindak pidana korupsinya bermotifkan
kepentingan untuk kelompok tertentu atau partai tertentu.
17. Sanksi yang Tidak Setimpal Dengan Hasil Korupsi
Tidak
redanya perbuatan korupsi, malahan kwalitas dan kwantitasnya selalu
meningkat dari tahun ketahun dan menjalar ke seluruh bidang
penyelenggaraan negara tidak saja dilingkungan eksekutif, yudikatif dan
belakangan telah merasuki legislatif, auditif dan partai politik
dikarenakan calon koruptor dan masyarakat melihat sanksi-sanksi yang
dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sangat ringan atau tidak setimpal
dengan tindakan yang dilakukannya. Sehingga orang yang tadinya tidak
korupsi atau yang terlibat dalam skala kecil akan berupaya untuk bisa
melakukan korupsi atau terlibat dalam perbuatan korupsi yang lebih besar
lagi.
18. Kurang Atau Tidak Ada pengendalian
Korupsi
yang terjadi tidak terjadi dengan sendirinya tetapi telah direncanakan
jauh-jauh sebelumnya, yaitu sejak proses perencanaan kegiatan dan
anggaran. Dalam tahap perencanaan inisiator korupsi sudah bisa melihat
apakah ada pengendalian atau pengawasan untuk pencegahan korupsi pada
tahap perencanaan, apabila sebaliknya pihak-pihak inisiator berinisiatif
untuk merancang korupsi. Apabila tidak ada pengawasan dan pengendalian
pada tahap perencanaan, maka niat yang terselubung tersebut dibulatkan
untuk dijadikan perbuatan korupsi dengan menuangkannya ke dalam rekayasa
perhitungan-perhitungan hasil mark up ke dalam dokumen perencanaan
untuk bisa dilaksanakan dengan melibatkan pihak pengawas dan pengendali
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
19.Faktor Politik
Terjadinya
korupsi di Indonesia bisa disebabkan oleh faktor politik atau yang
berkaitan dengan masalah kekuasaan. Para pakar dalam disiplin ilmu
politik tentunya mengenal dalil korupsi. Rumusan penyelewengan
penggunaan uang negara telah dipopulerkan oleh E. John Emerich Edward
Dalberg Acton atau lebih di kenal dengan Lord Acton, yang hidup pada
tahun 1834-1902 di inggris. Beliau menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah
yang menyebabkan korupsi.
Para pembaca tentu masih ingat dengan rumusan Lord Acton itu, yang menyatakan bahwa : Power tend to corrupt, but absolute power corrupts absolutely, yang berarti ; Kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi berlebihan pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar